## Misteri Kematian Johannes Marliem dan Kasus Korupsi KTP Elektronik: Benarkah Sebuah Kebetulan?
Pagi hari, Rabu, 9 Agustus 2017, sebuah peristiwa mengejutkan terjadi di Beverly Grove, Los Angeles, California. Kepolisian Los Angeles menerima laporan penyekapan seorang wanita dan anak di sebuah rumah di North Edinburgh Avenue. Rumah tersebut segera dikepung. Terduga pelaku penyekapan adalah Johannes Marliem, seorang warga negara Amerika Serikat keturunan Indonesia. Setelah berjam-jam ketegangan, petugas berhasil membebaskan sandera tanpa cedera. Namun, ironisnya, di tengah malam waktu setempat, Johannes Marliem ditemukan tewas akibat bunuh diri dengan senjata api.
Awalnya, kematian Johannes tampak seperti kasus bunuh diri biasa, mungkin disebabkan oleh depresi. Namun, berita tersebut memicu gelombang kejut di Indonesia. Media sosial dibanjiri berbagai spekulasi dan informasi, menghubungkan kematian Marliem dengan kasus mega korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik senilai Rp 5,9 triliun yang terjadi pada periode 2012-2014. Kasus ini telah menyeret sejumlah nama besar politisi dan pejabat tinggi negara ke dalam pusaran hukum. Ketua DPR saat itu, Setya Novanto, bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sementara dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, menjalani persidangan sebagai terdakwa. Puluhan anggota DPR lainnya juga disebut-sebut terlibat dalam skandal ini.
Siapakah Johannes Marliem sebenarnya? Ia adalah Direktur Biomorf Lone LLC, sebuah perusahaan penyedia layanan teknologi biometrik di Amerika Serikat. Dalam dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, Marliem disebut sebagai pemasok sistem identifikasi sidik jari otomatis (Automated Fingerprint Identification System/AFIS) merek L-1 untuk proyek KTP elektronik. Lebih mengejutkan lagi, Marliem dikabarkan memiliki rekaman pembicaraan dengan para perancang proyek KTP elektronik, termasuk pertemuannya dengan Setya Novanto. Rekaman tersebut, yang dibuat selama empat tahun, berjumlah fantastis: 500 gigabyte!
Kematian Marliem, yang dianggap sebagai saksi kunci dalam kasus KTP elektronik, langsung memicu berbagai teori konspirasi. Apalagi, sebelumnya, dua saksi lain yang disebut-sebut menerima aliran dana dari kasus korupsi ini, politikus Partai Demokrat Ignatius Mulyono dan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Mustokoweni, juga telah meninggal dunia. Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, Ignatius diduga menerima US$ 258.000, sementara Mustokoweni US$ 408.000. Apakah ini hanya serangkaian kebetulan? Publik Indonesia sulit untuk menerimanya begitu saja.
**Kematian Marliem dan Implikasinya terhadap Kasus Setya Novanto**
Banyak yang bertanya-tanya: akankah kematian Marliem akan membebaskan Setya Novanto dan pihak-pihak lain yang namanya terseret dalam kasus ini? Jawabannya: tidak secara otomatis. Meskipun Marliem dianggap sebagai saksi kunci, ia hanyalah satu dari sekian banyak saksi. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat lima alat bukti yang dapat digunakan untuk mendakwa seseorang: saksi, ahli, surat, keterangan terdakwa, dan petunjuk. Jaksa penuntut umum hanya memerlukan minimal dua alat bukti untuk membangun dakwaan. Kematian seorang saksi tidak serta-merta menggugurkan sebuah kasus, kecuali jika terdakwa itu sendiri yang meninggal dunia.
**Vonis Irman dan Sugiharto dan Peranan Setya Novanto**
Saat dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto dibacakan, nama Setya Novanto muncul sebagai pihak yang terkait. Namun, yang mengejutkan, nama Novanto sama sekali tidak disebut dalam pertimbangan hukum hakim saat menjatuhkan vonis kepada kedua terdakwa tersebut. Hal ini memicu berbagai spekulasi dan desas-desus. Ada anggapan bahwa Novanto telah melakukan berbagai upaya agar namanya tidak disebut dalam putusan tersebut, dengan tujuan menghentikan proses hukum terhadap dirinya.
Sebagai seorang pakar hukum, saya berpendapat bahwa tidak menyebutkan nama Setya Novanto dalam vonis Irman dan Sugiharto bukanlah sebuah kesalahan prosedural. Sebagai hakim, saya juga akan menghindari menyebut nama-nama yang belum diproses secara hukum untuk mencegah adanya praduga bersalah. Hal ini juga mendorong negara untuk bekerja lebih keras dalam mencari bukti-bukti yang kuat untuk mendakwa Setya Novanto, bukan hanya bergantung pada putusan Irman dan Sugiharto. Jika Novanto diadili bersama Irman dan Sugiharto, maka menyebut namanya dalam pertimbangan hukum akan menjadi hal yang wajar. Namun, tidak menyebut namanya tidak serta merta menghentikan proses hukum terhadapnya. Proses hukum harus tetap berjalan dengan bukti-bukti yang kuat dan sesuai dengan prinsip keadilan. Keadilan, seperti yang diungkapkan John Rawls dalam “Justice and Fairness”, berarti fairness, keadilan yang adil dan proporsional.
**Kata Kunci:** Johannes Marliem, Kasus KTP Elektronik, Setya Novanto, Korupsi, Bunuh Diri, Saksi Kunci, Hukum, Keadilan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Irman, Sugiharto.